Direktur Jenderal Politik Kemendagri, Bachtiar, menyoroti tingginya partisipasi masyarakat dalam Pilkada, namun keterlibatan pascapemilihan rendah.
Meski tingkat kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) relatif tinggi, keterlibatan warga dalam pengambilan kebijakan pascapemilihan dinilai masih minim.
Berikut ini Politik Ciki akan menyajikan informasi menarik mengenai partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan tantangan apatisme politik pascapemilihan.
Tingginya Partisipasi Pilkada Tapi Pascapemilihan Rendah
Bachtiar menyampaikan bahwa banyak warga yang aktif datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya, namun sikap apatis muncul setelah kepala daerah terpilih. Menurutnya, partisipasi warga tidak berhenti pada hari pemilihan, melainkan seharusnya berlanjut dalam pengawasan dan pengambilan keputusan pemerintah daerah.
“Setelah terpilih, apakah masyarakat masih ikut berpartisipasi? Ternyata sering kali tidak ada perubahan. Kalau itu terjadi, maka pada Pilkada berikutnya masyarakat bisa menjadi apatis,” ujarnya saat diskusi peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang digelar KPU RI di Jakarta, Sabtu.
Fenomena ini menunjukkan adanya jarak antara partisipasi pemilih dengan partisipasi politik yang berkualitas. Masyarakat tampak aktif saat proses pemilihan, tetapi tidak terlibat dalam proses pengambilan kebijakan yang seharusnya menjadi hak mereka setelah pemimpin resmi menjabat.
Masyarakat Minim Keterlibatan Dalam Pengambilan Kebijakan Daerah
Catatan Kemendagri menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat cenderung tidak terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan politik di tingkat daerah. Bahkan, kepala daerah yang sama sering kali terpilih kembali meski partisipasi pascapemilihan rendah.
“Pemilih datang ramai-ramai ke TPS memilih kepala daerah, bupati, wali kota, atau gubernur. Lima tahun berjalan, masyarakatnya tidak ada hubungannya dengan pembuatan kebijakan, tapi hebatnya, orang yang sama bisa terpilih lagi,” kata Bachtiar.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas partisipasi masyarakat dalam demokrasi lokal. Partisipasi yang hanya muncul saat Pilkada, tanpa diikuti pemantauan dan keterlibatan pascapemilihan, cenderung bersifat mobilisasi semu bukan partisipasi politik yang kritis dan berkualitas.
Baca Juga: Jokowi Apresiasi Kinerja Awal Pemerintahan Presiden Prabowo
Politik Uang dan Dampaknya Pada Kualitas Demokrasi
Salah satu faktor yang ikut memengaruhi rendahnya kualitas partisipasi politik adalah praktik politik uang. Bachtiar mengutip temuan riset yang menyebutkan bahwa sekitar 70 persen masyarakat Indonesia bersikap permisif terhadap politik uang.
Artinya, kehadiran masyarakat di TPS tidak selalu dilandasi kesadaran politik, melainkan oleh insentif finansial atau hadiah yang diberikan pihak tertentu. Praktik ini berpotensi merusak kualitas demokrasi karena pemilih lebih memilih keuntungan jangka pendek daripada mempertimbangkan program dan kapasitas calon pemimpin.
Fenomena ini juga menimbulkan risiko legitimasi bagi kepala daerah terpilih. Apabila pemimpin daerah dipilih bukan karena kapabilitas atau visi mereka, melainkan karena mobilisasi politik uang, maka efektivitas pemerintahan dan akuntabilitas terhadap warga bisa terganggu.
Perlunya Alternatif Sistem Pemilu dan Edukasi Politik
Bachtiar menekankan pentingnya mencari alternatif dalam sistem pemilu maupun Pilkada agar partisipasi masyarakat lebih berkualitas dan tidak hanya bersifat transaksional. Misalnya, mekanisme pemilihan atau sistem pengawasan yang bisa mendorong keterlibatan warga secara lebih aktif dan berkelanjutan.
“Fenomena partisipasi yang berkorelasi dengan politik uang ini bisa berdampak pada kualitas demokrasi. Kita perlu berpikir bagaimana sistem ini bisa diperbaiki,” ujarnya.
Selain itu, edukasi politik menjadi kunci agar masyarakat memahami pentingnya partisipasi yang aktif, kritis, dan berkesinambungan. KPU, pemerintah daerah, maupun lembaga pendidikan diharapkan ikut mendorong warga untuk tidak hanya hadir di TPS, tetapi juga terlibat dalam evaluasi dan pengawasan kebijakan publik.
Tanggung Jawab Bersama Bukan Hanya KPU
Bachtiar menegaskan bahwa fenomena apatisme politik tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada KPU atau penyelenggara pemilu. Tanggung jawab mendorong partisipasi politik yang berkualitas adalah tugas bersama, melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan media.
“Kita harus serius membicarakan persoalan partisipasi politik ini. Jangan hanya dibebankan kepada KPU atau penyelenggara pemilu. Semua pihak memiliki peran,” tuturnya.
Dengan upaya bersama, diharapkan partisipasi politik masyarakat tidak hanya tinggi saat Pilkada, tetapi juga konsisten dalam memantau kinerja pemimpin daerah, memengaruhi kebijakan publik, dan menumbuhkan budaya demokrasi yang sehat.
Simak dan ikut terus perkembangan politik terkini dengan informasi akurat dan tentunya terpercaya hanya di Politik Ciki.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Utama dari antaranews.com
- Gambar Kedua dari suara.com