Skandal RUU KUHAP terungkap, menunjukkan partisipasi publik seringkali hanya formalitas, bukan benar-benar memengaruhi keputusan legislatif.

Proses pembahasan RUU KUHAP di DPR kembali jadi sorotan. Alih-alih transparan dan partisipatif, pembahasan diwarnai dugaan manipulasi dan “catut nama” masyarakat sipil. Kisah ini menyoroti pasal kontroversial sekaligus integritas legislasi, memunculkan pertanyaan mendasar, untuk siapa undang-undang ini dibuat.
Simak beragam informasi menarik lainnya tentang politik di Indonesia yang terbaru dan terviral cuman hanya ada di seputaran Politik Ciki.
Partisipasi Bermakna Yang Tergadai
DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan RUU KUHAP tingkat pertama, dengan rencana pengesahan 18 November 2025. Proses ini meninggalkan pertanyaan, terutama dugaan pencatutan nama koalisi masyarakat sipil, yang menunjukkan upaya memenuhi prinsip partisipasi bermakna, sebelumnya menjadi sandungan dalam uji formil undang-undang.
Pencatutan nama masyarakat sipil ini diduga sebagai taktik untuk menutup celah judicial review ke Mahkamah Konstitusi. DPR seolah-olah berupaya menunjukkan adanya keterlibatan publik, padahal substansi partisipasi tersebut diragukan. Ini menciptakan preseden buruk bagi praktik legislasi yang transparan dan akuntabel di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja pada 2021 karena tidak memenuhi prinsip partisipasi bermakna. Oleh karena itu, wajar jika DPR berupaya memenuhi prinsip ini. Namun, menjadi masalah besar jika pemenuhan prinsip tersebut dilakukan dengan manipulasi, merusak kepercayaan publik terhadap proses legislasi.
Kejanggalan Diskusi Dan Pasal Kontroversial
Pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung sejak Februari 2025, dimulai dari inisiatif DPR. Namun, serangkaian kejanggalan mewarnai proses ini. Salah satunya adalah klaim DPR bahwa diskusi dengan perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP pada 8 April 2025 adalah rapat dengar pendapat umum untuk menyerap aspirasi.
Faktanya, koalisi masyarakat sipil menganggap pertemuan tersebut hanya sebagai diskusi informal. Pertemuan itu bahkan tidak melibatkan segenap anggota Komisi III DPR yang bertugas membahas revisi KUHAP. Klaim ini semakin memperkuat dugaan manipulasi partisipasi publik.
Kecurigaan masyarakat sipil memuncak karena banyak pasal DPR dan pemerintah berpotensi disalahgunakan. Contohnya, Pasal 16 ayat 1 tentang perluasan kewenangan penyelidikan, termasuk pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan, sebelumnya hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu. Perluasan ini membuka ruang penyalahgunaan aparat.
Baca Juga: Nurhadi Dijerat Dakwaan Gratifikasi Rp 137 Miliar dan Pencucian Uang
Potensi Penyalahgunaan Dan Ancaman Judicial Review

Pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP, terutama yang memperluas kewenangan penyelidikan, sangat rentan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Perluasan metode penyelidikan seperti pembelian terselubung untuk semua jenis tindak pidana dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak dasar warga negara dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Sebelumnya, operasi penyelidikan dengan pembelian terselubung dan di bawah pengawasan hanya menjadi kewenangan pada tahap penyidikan atau dalam operasi tindak pidana narkotik. Perubahan ini tanpa landasan kuat yang menjamin perlindungan hak asasi manusia adalah langkah mundur dalam sistem hukum.
Salah satu celah produk legislasi DPR adalah ketidakpatuhan terhadap prinsip partisipasi bermakna. Jika RUU KUHAP disahkan dengan dugaan manipulasi ini, besar kemungkinan akan kembali menghadapi gugatan ke Mahkamah Konstitusi, mengulang sejarah pahit Undang-Undang Cipta Kerja.
Desakan Transparansi Dan Akuntabilitas
Kasus RUU KUHAP ini menjadi panggilan bagi DPR untuk lebih transparan dan akuntabel dalam setiap proses legislasi. Keterlibatan masyarakat sipil bukan sekadar formalitas, melainkan esensi dari demokrasi yang sehat dan undang-undang yang legitimate.
Masyarakat sipil harus terus mengawal dan menyuarakan keberatan terhadap pasal-pasal bermasalah. Tekanan publik adalah kunci untuk memastikan bahwa produk legislasi benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Integritas legislasi adalah pondasi negara hukum. Skandal RUU KUHAP ini menunjukkan betapa krusialnya pengawasan publik dan partisipasi bermakna untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas, adil, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pantau selalu berita politik terkini yang akurat, terpercaya, dan mendalam, eksklusif hanya di Politik Ciki agar Anda tidak ketinggalan setiap perkembangan penting lainnya.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Utama dari tempo.co
- Gambar Kedua dari tempo.co