Bivitri Susanti Anggap Pemerintah Tergesa-Gesa Mengesahan KUHAP Baru

Bivitri Susanti Anggap Pemerintah Tergesa-Gesa Mengesahan KUHAP Baru

Hukum tata negara Bivitri Susanti yang menyoroti proses pengesahan Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru di Indonesia.

Bivitri Susanti Anggap Pemerintah Tergesa-gesa Mengesahan KUHAP Baru

Bivitri menilai pemerintah dan DPR melakukan legislasi secara terburu-buru tanpa kajian mendalam. Sehingga berpotensi menimbulkan masalah dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi warga negara.

Ia juga menekankan kekhawatiran terkait perluasan kewenangan aparat penegak hukum, keterbatasan partisipasi publik, serta kesiapan implementasi KUHAP baru yang masih belum matang, Mari kita ulas lebih dalam di .

Ketidakpuasan Bivitri Susanti Terhadap KUHAP Baru

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengungkapkan kritik tajam terhadap keputusan pemerintah dan DPR dalam mengesahkan Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP baru) pada pertengahan November 2025.

Menurutnya, proses legislasi yang memunculkan undang‑undang ini terasa dipaksakan dan kurang matang secara substansi. Sehingga menimbulkan kekhawatiran publik.

Bivitri menyampaikan pandangannya dalam konferensi pers di PTIK/STIK Polri, Jakarta Selatan, pada 19 November 2025. Bahwa keresahan warga terhadap RUU KUHAP itu bukan tanpa alasan. Ia menilai sejumlah pasal berpotensi memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan memadai.

Bivitri bukan sekadar mengkritik untuk menyampaikan perasaan semata. Tetapi berdasarkan analisis terhadap draf KUHAP terbaru. Ia menyatakan bahwa meskipun KUHAP yang lama memang sudah berusia lebih dari 40 tahun dan memerlukan pembaruan. Proses pengesahan yang berlangsung cepat justru menghasilkan undang‑undang yang belum siap secara substansial.

Karena itu, kritiknya terhadap sikap pemerintah yang hendak menyandingkan berlaku KUHAP baru bersamaan dengan KUHP baru pada 2 Januari 2026 dipandang terlalu tergesa‑gesa dan berisiko.

Proses Pembahasan yang Dipandang Tidak Matang

Menurut Bivitri Susanti, polemik yang berkembang bukan tanpa dasar. Ia menilai bahwa meskipun KUHAP yang lama sudah berusia lebih dari empat dekade dan memang perlu diperbarui. Proses pembahasan RUU KUHAP terbaru mengalami tekanan untuk segera disahkan tanpa penyempurnaan yang cukup.

Kritik ini juga mencakup cara anggota DPR menanggapi penolakan publik. Seperti saat salah satu anggota mengatakan poster‑poster masyarakat sipil salah mengutip pasal.

Bivitri menjelaskan bahwa kampanye publik yang tidak bisa mencantumkan teks pasal utuh adalah hal yang wajar karena tujuan utamanya adalah menjelaskan makna tertentu agar masyarakat umum memahami substansi yang dipermasalahkan.

Logika semacam ini menunjukkan adanya jurang antara bahasa legislasi dan pemahaman publik, yang jika tidak dijembatani dengan baik justru semakin memicu kecemasan masyarakat.

Baca Juga: KPK Tangkap dan Tahan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya Tersangka Suap Rp 5,7 M

Kritik Terhadap Respons DPR Atas Kritik Publik

Kritik Terhadap Respons DPR Atas Kritik Publik

Bivitri juga mengomentari reaksi anggota DPR. Khususnya komentar yang menyatakan kritik masyarakat terhadap pasal KUHAP baru merupakan hasil misquote atau kesalahan kutipan teks pasal oleh publik.

Ia menjelaskan bahwa poster dan kampanye publik yang mengutip pasal bertujuan menjelaskan makna substansial dan dampaknya, bukan sekadar menyalin redaksi secara utuh.

Menurutnya, menjelaskan konteks pasal kepada masyarakat adalah hal wajar. Dan kritik yang diarahkan kepada publik bukanlah cara yang tepat untuk merespons keresahan yang sahih.

Ketegangan antara masyarakat sipil dan DPR ini mencerminkan jurang antara bahasa teknis legislasi dengan cara masyarakat memahaminya. Bivitri menilai bahwa komunikasi yang buruk antara pembuat UU dan publik berkontribusi pada ketidakpercayaan dan kecemasan warga terhadap reformasi hukum ini.

Sorotan Terhadap Diskresi Aparat

Dalam kritiknya, Bivitri menyoroti beberapa pasal di dalam KUHAP baru yang dianggap memberi ruang terlalu luas bagi aparat penegak hukum, terutama kepolisian, untuk mengambil tindakan tanpa perlu penetapan hakim terlebih dahulu.

Ia secara khusus menyinggung mekanisme seperti pemblokiran, penggeledahan, dan penyitaan, yang dalam KUHAP lama harus berdasarkan keputusan pengadilan.

Namun dalam draf baru, Bivitri melihat adanya pengecualian untuk penyidik menggunakan diskresi, yang menurutnya dapat membuka potensi penyalahgunaan wewenang.

Komentar Bivitri tersebut muncul di tengah perdebatan intens antara para pakar hukum. Masyarakat sipil dan legislator tentang keseimbangan antara kebutuhan pembaruan hukum dan perlindungan hak dasar warga negara.

Ia menggarisbawahi bahwa langkah memperluas kewenangan aparat tanpa kontrol judicial yang kuat berpotensi melemahkan prinsip dasar negara hukum dan mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.

Buat kalian yang ingin mendapatkan analisis politik yang tajam dan update terkini, kalian bisa kunjungi Politik Ciki yang dimana akan selalu menyajikan berita dan opini terpercaya seputar dinamika politik Indonesia dan dunia.


Sumber Informasi Gambar:

  • Gambar Utama dari detik.com
  • Gambar Kedua dari antaranews.com