Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI, menyatakan bahwa gelar akademiknya yang sah termasuk profesor dan doktor honoris causa tanpa pemalsuan.
Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah acara di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada awal Oktober 2025, yang kemudian menarik perhatian publik dan memicu spekulasi mengenai sindiran terhadap isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Dibawah ini Anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya tentang seputaran Politik Ciki.
Jejak Akademis Megawati Tiga Profesor dan Sebelas Doktor Honoris Causa
Dalam pidatonya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Megawati Soekarnoputri sempat bertanya kepada hadirin mengenai jumlah gelar profesor yang ia sandang. Dengan tegas ia kemudian mengungkapkan bahwa dirinya memiliki tiga gelar profesor dan sebelas gelar doktor honoris causa. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan bahwa masih ada empat gelar lain yang tengah dalam proses penganugerahan.
Meskipun Megawati tidak pernah menyelesaikan pendidikan tinggi secara formal di perguruan tinggi, dirinya tetap menerima banyak penghargaan akademis dari institusi pendidikan. Gelar-gelar tersebut datang dari berbagai universitas, baik dalam negeri maupun luar negeri, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Ia menekankan bahwa seluruh gelar kehormatan tersebut diperoleh secara sah dan melalui prosedur resmi institusi pendidikan tinggi yang kredibel. Bagi Megawati, gelar-gelar ini bukan hanya simbol prestise, melainkan juga sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, sekaligus bukti penghormatan atas kiprahnya di ranah politik dan kebangsaan.
Spekulasi Publik Sindiran Terhadap Isu Ijazah Jokowi
Pernyataan Megawati mengenai keaslian gelar akademiknya di UGM segera memicu spekulasi publik. Banyak pihak menduga bahwa ucapannya merupakan sindiran halus terhadap isu ijazah palsu yang sempat menerpa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isu tersebut pernah menjadi perdebatan panjang, bahkan sempat masuk ranah hukum.
Megawati sebelumnya juga pernah menyinggung persoalan tersebut secara lebih terbuka. Ia mempertanyakan mengapa Jokowi tidak langsung menunjukkan ijazahnya jika memang asli, sebuah pernyataan yang dianggap publik sebagai bentuk keraguan dan kritik keras. Dalam pidatonya kali ini, meskipun tidak menyebut nama Jokowi secara langsung, frasa “tidak ada pemalsuan” diulang berkali-kali dan memunculkan tafsir sebagai sindiran.
Spekulasi ini semakin kuat karena gugatan hukum terkait ijazah Jokowi hingga kini masih berlangsung di pengadilan. Pihak Jokowi menolak opsi mediasi dan terus menegaskan keabsahan ijazahnya, yang sudah dikonfirmasi resmi oleh UGM dan SMAN 6 Solo. Namun, pernyataan Megawati tetap dianggap mempertegas keraguan sebagian publik terhadap isu tersebut.
Baca Juga: Pemprov Bali Minta Dukungan Sistem Peringatan Banjir Lewat DPR
Peran Gelar Akademik di BRIN dan Relevansinya
Selain membicarakan soal jumlah gelar, Megawati juga mengaitkan penganugerahan gelar-gelar tersebut. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan nada bercanda, ia mengatakan bahwa banyaknya gelar membuatnya merasa setara dengan para ilmuwan BRIN yang terkenal cerdas dan berwawasan luas.
Menurut Megawati, gelar-gelar ini memberikan kepercayaan diri ketika ia memperkenalkan diri di hadapan publik. Ia menyebut hal itu membuatnya terlihat lebih keren dan menambah wibawa. Namun, ia menegaskan bahwa penghargaan akademis bukan hanya kebanggaan pribadi, melainkan juga bentuk pengakuan institusional atas kontribusinya.
Bagi Megawati, gelar kehormatan ini memperkuat legitimasi dirinya dalam mengarahkan riset nasional dan pendidikan. Ia menekankan pentingnya menghubungkan ilmu pengetahuan dengan semangat nasionalisme dan kedaulatan bangsa. Dengan begitu, BRIN dapat berfungsi lebih strategis dalam mendorong inovasi dan memperkuat kebijakan nasional.
Analisis Politik dan Reaksi Terhadap Sindiran
Pidato Megawati yang menyinggung soal keaslian gelar memunculkan analisis politik dari berbagai pihak. Banyak pengamat menilai bahwa meskipun tidak menyebut nama, sindiran tersebut diarahkan kepada Presiden Jokowi. Bagi sebagian pihak, ini adalah bagian dari dinamika politik yang memang kerap diwarnai kritik tajam dari Megawati kepada mantan kadernya itu.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, berpendapat bahwa kemarahan Megawati secara semiotik ditujukan kepada Jokowi dan keluarganya. Hal senada disampaikan pengamat politik Universitas Andalas, Asrinaldi, yang menilai pidato Megawati jelas ditujukan kepada pihak yang berkuasa, dan kata kunci itu dianggap mengarah pada Jokowi.
Reaksi publik pun beragam. Sebagian menilai sindiran Megawati penting untuk menjaga check and balance, sementara sebagian lainnya menganggap kritik ini berlebihan. Di tengah berbagai spekulasi, Presiden Jokowi memilih tidak banyak bicara. Ia hanya menanggapi dengan senyuman dan pernyataan singkat, “Saya tidak ingin memberi tanggapan.”
Simak dan ikut terus perkembangan politik terkini dengan informasi akurat dan tentunya terpercaya hanya di Politik Ciki.