Pemangkasan dana reses oleh DPR merupakan langkah awal yang baik, namun tidak cukup untuk menjawab tuntutan publik terhadap reformasi kinerja wakil rakyat.

Reses adalah masa di mana anggota DPR kembali ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing untuk bertemu konstituen, menyerap aspirasi, dan melakukan evaluasi program pembangunan.
Selama ini, kegiatan reses dikritik karena dianggap tidak efektif, hanya seremoni, bahkan tidak jarang dipandang sebagai ajang pencitraan politik menjelang pemilu. Mari kita ulas lebih dalam di Politik Ciki.
Cerita di Balik Wacana Pemangkasan
Rencana pemangkasan dana reses DPR sebesar Rp702 juta per anggota mendadak jadi sorotan publik. Dana reses selama ini dipakai anggota dewan untuk turun ke daerah pemilihan (dapil), bertemu masyarakat, menampung aspirasi, dan melakukan sosialisasi kerja.
Tapi wacana terbaru bukan soal menghilangkan reses, melainkan mengurangi titik kunjungan. Sebelumnya, anggota DPR bisa melakukan kunjungan reses hingga delapan titik per dapil.
Namun dalam skema yang baru, jumlah kunjungan itu akan dipangkas menjadi empat titik saja. Artinya bukan hanya dana yang berkurang, melainkan juga cakupan wilayah dan jumlah masyarakat yang dikunjungi.
Wacana ini muncul dari proses rasionalisasi anggaran negara. Pemerintah sedang menata ulang belanja pusat, di mana DPR juga diminta menyesuaikan diri.
Konteksnya adalah bagaimana lembaga negara ikut berperan dalam penghematan belanja agar fiskal tetap sehat. Terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya stabil.
Meski begitu, pembahasan pemangkasan dana reses bukan sekadar administrasi angka. Ia menyentuh pembicaraan yang lebih luas seberapa penting sebenarnya fungsi reses, dan bagaimana efektivitas anggota DPR dalam menyerap aspirasi masyarakat di lapangan.
Skema Pemangkasan
Sebelum pemangkasan diberlakukan, setiap anggota DPR memiliki 10 titik kunjungan reses dalam satu periode reses. Dengan kebijakan baru, titik tersebut dikurangi menjadi hanya 6 titik.
Artinya, pengurangan yang dilakukan tidak menghilangkan esensi reses. Melainkan hanya mengurangi jumlah lokasi pertemuan. Inilah yang kemudian membuat sebagian pihak menilai pemangkasan tersebut bersifat minimalis.
Pemangkasan senilai Rp702 juta tersebut bukan untuk satu kali reses. Melainkan akumulasi selama setahun yang mencakup tiga kali masa reses.
Dengan demikian, rata-rata pemangkasan tiap reses dapat dihitung berada pada kisaran ratusan juta rupiah. Sebagian kalangan menilai jumlah tersebut sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan total anggaran DPR yang mencapai belasan triliun rupiah dalam satu tahun anggaran.
Namun, di sisi lain, pemangkasan ini tetap memberikan pesan politik: DPR menyadari tekanan publik terkait gaya hidup dan penggunaan fasilitas negara oleh pejabat.
Dengan hanya mengurangi empat titik, sebagian anggota DPR menyatakan bahwa mereka masih bisa menjalankan tugas konstitusional menyerap aspirasi masyarakat, meskipun secara kuantitas titik pertemuan berkurang.
Baca Juga: Kena OTT KPK, Gubernur Riau Abdul Wahid Punya Harta Rp 4,8 Miliar
Kritik Terhadap Dana Reses

Meski pemangkasan dana reses mendapat apresiasi dari sebagian masyarakat karena dianggap menunjukkan langkah efisiensi anggaran, banyak pihak menilai langkah ini belum menyentuh akar masalah.
Kritik terbesar datang dari kelompok pemerhati kebijakan publik dan masyarakat sipil yang menilai bahwa yang seharusnya dievaluasi bukan hanya angkanya, melainkan kualitas reses itu sendiri.
Dalam praktiknya, reses DPR seringkali tidak benar-benar menyerap aspirasi masyarakat secara mendalam. Banyak laporan menyebut kegiatan reses dijalankan secara formalitas lokasi ditentukan, masyarakat yang datang sudah diorganisir, aspirasi yang disampaikan hanya yang “aman” atau telah disiapkan. Hal ini menyebabkan reses lebih menyerupai pertemuan seremonial daripada sarana komunikasi aspirasi akar rumput.
Selain itu, kritik lain menyentuh aspek transparansi. Publik jarang mengetahui secara rinci bagaimana dana reses digunakan. Apakah benar dialokasikan sepenuhnya untuk pertemuan, dokumentasi, dan pelaporan, ataukah sebagian menjadi “tambahan non-resmi” bagi anggota DPR? Selama tidak ada transparansi penggunaan anggaran, efisiensi yang diterapkan hanya dianggap kosmetik.
Sudut Pandang DPR
Dari pihak DPR, sejumlah anggota menyatakan bahwa reses tetap merupakan instrumen penting untuk menjaga hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.
Mereka menekankan bahwa meskipun titik kunjungan berkurang, komitmen untuk menyerap aspirasi masyarakat tidak berubah. Beberapa anggota bahkan menilai bahwa daripada menilai jumlah titik, publik seharusnya fokus pada kualitas interaksi.
Beberapa anggota DPR juga mengingatkan bahwa tidak semua dapil memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang sama. Ada dapil yang sangat luas, terdiri dari banyak kabupaten dan kecamatan, sehingga pengurangan titik reses berpotensi mengurangi jangkauan perwakilan.
Dalam konteks ini, pemangkasan harus disertai desain pelaksanaan reses yang lebih strategis agar aspirasi masyarakat tetap terfasilitasi.
Namun, argumen ini kembali dilawan oleh pandangan yang menekankan penggunaan teknologi modern. Di era digital, penyampaian aspirasi dapat dilakukan melalui forum daring, survei digital, dan kanal komunikasi komunitas.
Artinya, efektivitas reses tidak lagi harus diukur dari berapa kali anggota DPR hadir secara fisik.
Buat kalian yang ingin mendapatkan analisis politik yang tajam dan update terkini, kalian bisa kunjungi Politik Ciki yang dimana akan selalu menyajikan berita dan opini terpercaya seputar dinamika politik Indonesia dan dunia.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Utama dari www.cnnindonesia.com
- Gambar Kedua dari nasional.kompas.com